Tak terasa, hari begitu cepat melaju melewati anak tangga hari di bulan April ini. Anak – anak saya yang masih SD sudah mempersiapkan diri untuk memperingati Hari Kartini. Sebuah upacara bendera, tanpa maksud dan makna yang mereka mengerti. Tahunya hanya sibuk menyiapkan diri. Sebab hari – hari yang lalu, kami melatih anak kedua saya bersiap menjadi komandan upacara. Ini pun sebuah tugas yang sepenuhnya belum dia mengerti. Jangankan dia, saya sendiri pun tersadar bahwa sebenarnya banyak hal yang saya tidak mengerti. Salah satunya apa sih makna peringatan Hari Kartini? Emansipasi? Poligami? Atau yang lainnya? Daripada sibuk beradu lidah, berandai - andai, bersilang kata menyoal hal di atas, saya cenderung memilih jalan saya sendiri. Tanpa bermaksud mengurangi bingkai nilai luhur yang diusung oleh para pendahulu, saya hanya berfokus pada langkah kecil yang bisa saya lakukan untuk memulainya. Langkah sederhana itu adalah menyayangi istri. Kalau dulu sudah sayang, tentunya sekarang jadi lebih menyayanginya. Kalau memang sudah bahagia, berarti sekarang lebih berbahagia. Kalau sudah harmonis, tentu membuatnya lebih harmonis lagi. Darimana saya memulainya? Saya kembali pada saat pertama menjejakkan kaki dalam mahligai rumah tangga.
Dulu, istri adalah seorang gadis yang rela menyerahkan dirinya untuk diatur dan taat kepada saya sebagai suami. Kini, istri saya adalah seorang ibu yang telah melahirkan anak – anak. Buah dari ketaatan. Mengasuh, mengawasi dan mendidik mereka. Dulu istri adalah seorang gadis yang bertubuh indah dan menarik. Sekarang istri saya sudah ‘agak’ gemuk, seiring usia dan perjalannya dalam melahirkan anak – anak. Padahal dia masih pengin punya berat ideal. Tapi itu tak gampang karena harus menyusui. Menyesuaikan diri dengan asupan yang masuk dan diberikan. Dulu, istri saya sering kelihatan rapih dan resik ketika belum punya momongan. Memandang pun suka berlama – lama. Sekarang penampilannya ‘agak’ berkurang karena keadaan. Memandang pun tak bisa lama, karena banyak yang harus dikerjakan. Padahal dalam hatinya ingin sekali mendapat perhatian dari suami di tengah rasa capek dan kepenatan yang melanda. Harus mengurus anak, mengerjakan tugas keseharaiannya dan bekerja keras melayani suaminya. Dia ingin semuanya puas. Anak – anak senang, suami riang dan baru terakhir dia memikirkan dirinya.
Dari Tsauban ra., dia menuturkan, Tatkala turun ayat (Dan orang – orang yang menimbun emas dan perak) ia berkata, ‘Kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan, salah seorang sahabat Nabi bertanya, ‘Ia diturunkan berkenaan dengan emas dan perak. Kalau saja kami tahu harta mana yang lebih bagus, tentu kami mengambilnya.’ Maka Rasulullah SAW bersabda, “Yang paling utamanya (melebihi emas dan perak) adalah lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur dan istri yang beriman yang membantu suaminya atas keimanannya.” (Rowahu Ibnu Majah dan at-Tirmidzi)
Dalam situasi seperti inilah, saya ingin memberikan sedikit waktu, sedikit perhatian, sedikit sentuhan yang membuat dirinya benar – benar berbahagia atau bertambah bahagia. Bahagia menjadi seorang istri. Bahagia menjadi seorang ibu. Bahagia sebagai pengabdi bangsa. Dan bahagia juga sebagai anggota masyarakat dan anak bangsa. Dan yang tak kalah penting bahagia sebagai seorang perempuan - makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini. Maka menjelang Hari Kartini ini, saya ingin membuat suasana berbeda. Sebab tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang wanita, kecuali ketika suami mengerti atas dirinya, anak – anak bangga dan menurut dengannya, lingkungan mendukung keberadaannya dan alam semesta mendoakan dirinya. Dan Allah pun ridho dan menerima semua amalannya.
Nah, menyambut Hari Kartini kali ini saya mengajak semua orang agar memulai langkah kecil, memperhatikan dan menyayangi, agar semua perempuan bangga atas keperempuanannya. Jadi, bukan emansipasi, poligami atau kesetaraan gender yang harus kita cakapi.
Rasulullah SAW bersabda; “Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik perilakunya terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian dalam memperlakukan istriku.” (HR. At Tirmidzi)
Di malam yang sunyi itu, sebelum ke peraduan, saya sempatkan menengok istri dan anak – anak saya. Alhamdulillah - lalu saya mendekat, kuamati dengan seksama wajah letih istri dalam tidurnya, ku belai rambutnya, ku kecup dan ku ucapkan: Terima kasih banyak(Jazaa killahu khoiro) Kartiniku atas semuanya.
Dulu, istri adalah seorang gadis yang rela menyerahkan dirinya untuk diatur dan taat kepada saya sebagai suami. Kini, istri saya adalah seorang ibu yang telah melahirkan anak – anak. Buah dari ketaatan. Mengasuh, mengawasi dan mendidik mereka. Dulu istri adalah seorang gadis yang bertubuh indah dan menarik. Sekarang istri saya sudah ‘agak’ gemuk, seiring usia dan perjalannya dalam melahirkan anak – anak. Padahal dia masih pengin punya berat ideal. Tapi itu tak gampang karena harus menyusui. Menyesuaikan diri dengan asupan yang masuk dan diberikan. Dulu, istri saya sering kelihatan rapih dan resik ketika belum punya momongan. Memandang pun suka berlama – lama. Sekarang penampilannya ‘agak’ berkurang karena keadaan. Memandang pun tak bisa lama, karena banyak yang harus dikerjakan. Padahal dalam hatinya ingin sekali mendapat perhatian dari suami di tengah rasa capek dan kepenatan yang melanda. Harus mengurus anak, mengerjakan tugas keseharaiannya dan bekerja keras melayani suaminya. Dia ingin semuanya puas. Anak – anak senang, suami riang dan baru terakhir dia memikirkan dirinya.
Dari Tsauban ra., dia menuturkan, Tatkala turun ayat (Dan orang – orang yang menimbun emas dan perak) ia berkata, ‘Kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan, salah seorang sahabat Nabi bertanya, ‘Ia diturunkan berkenaan dengan emas dan perak. Kalau saja kami tahu harta mana yang lebih bagus, tentu kami mengambilnya.’ Maka Rasulullah SAW bersabda, “Yang paling utamanya (melebihi emas dan perak) adalah lisan yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur dan istri yang beriman yang membantu suaminya atas keimanannya.” (Rowahu Ibnu Majah dan at-Tirmidzi)
Dalam situasi seperti inilah, saya ingin memberikan sedikit waktu, sedikit perhatian, sedikit sentuhan yang membuat dirinya benar – benar berbahagia atau bertambah bahagia. Bahagia menjadi seorang istri. Bahagia menjadi seorang ibu. Bahagia sebagai pengabdi bangsa. Dan bahagia juga sebagai anggota masyarakat dan anak bangsa. Dan yang tak kalah penting bahagia sebagai seorang perempuan - makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini. Maka menjelang Hari Kartini ini, saya ingin membuat suasana berbeda. Sebab tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang wanita, kecuali ketika suami mengerti atas dirinya, anak – anak bangga dan menurut dengannya, lingkungan mendukung keberadaannya dan alam semesta mendoakan dirinya. Dan Allah pun ridho dan menerima semua amalannya.
Nah, menyambut Hari Kartini kali ini saya mengajak semua orang agar memulai langkah kecil, memperhatikan dan menyayangi, agar semua perempuan bangga atas keperempuanannya. Jadi, bukan emansipasi, poligami atau kesetaraan gender yang harus kita cakapi.
Rasulullah SAW bersabda; “Sebaik-baik kalian ialah orang yang paling baik perilakunya terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian dalam memperlakukan istriku.” (HR. At Tirmidzi)
Di malam yang sunyi itu, sebelum ke peraduan, saya sempatkan menengok istri dan anak – anak saya. Alhamdulillah - lalu saya mendekat, kuamati dengan seksama wajah letih istri dalam tidurnya, ku belai rambutnya, ku kecup dan ku ucapkan: Terima kasih banyak(Jazaa killahu khoiro) Kartiniku atas semuanya.
0 komentar:
Posting Komentar